Sabtu, 07 April 2012

OPINI


Impor menjelma “mie” Instan


Ketika kebijakan impor menjadi sebuah jalan akhir para menteri atas masalah kebutuhan pangan, khususnya garam.

Setelah pemerintah memutuskan akan mengizinkan impor garam sekitar 500.000 ton untuk mencukupi kebutuhan garam konsumsi dalam negeri selama 3,5 bulan.  Sebagai hasil dari kesepakatan bersama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Perekonomian.

Ketiga kementerian awalnya saling bertikai, terutama Kementerian Kelautan yang sebelumnya menyatakan “kita belum butuh impor”. Belum berarti akan impor juga ya pak menteri?

Budaya instan masih melekat di negeri yang memiliki garis pantai terpanjang didunia ke empat ini, menjadikan impor seolah-olah jalan terbaik, cepat, dan mudah alias tak perlu repot-repot. Syukur-syukur bisa mendapatkan keuntungan sepihak dari rencana tersebut.

Kebijakan impor memang hal yang cepat dan gampang. Layaknya, saat kita menyeduh mie instan, tinggal disiram air panas, tunggu beberapa saat,  dan selamat makan. Lantas, bagaimana dengan ceritamu wahai menteri-menteri? Kalau pemerintah kita, kekurangan garam dalam negeri? tinggal impor, tunggu beberapa saat, welcome garam Austalia dan India. Miris...

Bertahun-tahun dari dulu, memang Indonesia selalu mengimpor 100 persen garam industri karena ada masalah investasi, lahan, dan teknologi, mengutip perkataan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sharif Cicip Sutardjo. Alasan bahwa pasokan dalam negeri tidak mencukupi benar adanya. Sayangnya, sampai saat ini kebijakan impor selalu menjadi jalan akhir penyelesaian masalah.


Penggaraman

Menengok negara lain, di Saudi Arabia, misalnya, awalnya mereka mempunyai penyulingan air minum yang bahan bakunya di ambil dari air laut, dengan teknologi proses desalinasi mereka menghilangkan kadar garam sehingga menghasilkan air mineral yang dapat dikonsumsi. Sisa dari proses tersebut adalah air garam (brine)
Sisa tersebut ternyata mengandung kadar garam dengan konsentrasi yang tinggi. Setelah sisa diproses menghasilkan garam yang melimpah ruah.

Lain lagi dengan Cina, dulunya, Cina sudah mengenal teknologi menembus perut bumi dengan bambu untuk mencari air dengan kadar mineral tinggi yang mengandung garam. Teknologi bambu juga menemukan sumber-sumber gas alam yang digunakan sebagai alat menguapkan air untuk memproduksi garam. Tentu bambu tersebut sekarang sudah digantikan oleh besi. Bahkan sejak 2.000 tahun lalu, paling tidak sudah ada 130 ribu sumur garam yang digali. Sampai sekarang, daerah Sichuan—Cina masih menjadi penghasil garam, dengan sumur-sumur garam kuno yang masih berfungsi hingga kini. 

Sedangkan mayoritas pembuatan garam di Indonesia memang masih menggunakan cara tradisional, yaitu proses evaporasi atau penguapan air laut di dalam kolam penampungan. Produksi secara massal sangat terhambat akibat ketergantungan terhadap iklim amat tinggi. Teknologi ini cukup primitif dalam industri pengaraman. Bicara tentang teknologi, berarti kita juga bicara kualitas. Teknologi pembuatan garam di Indonesia yang relatif tradisional membuat kandungan natrium-nya cukup rendah. Karena itu, harus ada proses iodisasi (menambahkan unsur iodium atau yodium dalam garam). Kualitas rendah juga dikarenakan terlalu cepat masa panen akibat iklim yang tidak bersahabat. Metode semacam ini juga hanya menghasilkan garam untuk dapur dan meja makan, bukan untuk keperluan industri. 


Garam bukan dari laut

Garam bukan bersumber dari laut saja,  misalnya Australia sebagai salah satu langganan impor garam kita. Negeri kangguru tersebut mengimpor garam berkualitas tinggi. Australia memanen garam tak hanya dari air laut, tapi juga dari danau garam, air tanah asin, danau garam kering yang berada di daerah gurun. Mereka tinggal mengeruk saja. Selain itu, iklim Australia yang cukup kering sehingga garam dapat dipanen hampir setiap waktu.

Contoh lain yang sangat dekat—Pidie, Aceh, cara pembuatan garam di Aceh, tidak tergantung sepenuhnya pada kondisi iklim atau cuaca. Meskipun harga garam menjadi lebih tinggi, karena tambahan biaya produksi untuk memanaskan air garam dengan memakai kayu bakar. Namun itu lebih baik, ketimbang kita harus membayar mahal garam impor, yang uang/arus dananya mengalir keluar negeri.

Luas laut kita menjadi sumber kekayaan alam. Namun, iklim di Indonesia, saat musim kemarau  pun masih sering terjadi hujan. Jika hanya bergantung pada sinar matahari dalam pembuatan garam, maka kita tidak akan sanggup memenuhi kebutuhan garam dalam negeri. Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) berkompeten harus difasilitasi, untuk menghasilkan teknologi. Khususnya teknologi guna menambah efisiensi dan peningkatan produksi garam.

Oleh karena itu, keseriusan pemerintah dan para petinggi negara menjadi pendongkrak dan fasilitator—akan menjadi langkah awal dalam mengatasi berbagai polemik di negeri pertiwi ini. Dengan cara, mengalokasikan dana khusus bagi peneliti/mahasiswa untuk melakukan penelitian dalam pembuatan teknologi dan upaya untuk memproduksinya. Kenyataan hari ini, penghargaan dan kepedulian dari pemerintah sangat lah minim, padahal begitu banyak hasil temuan dari karya ilmiah/skripsi mahasiswa teknik yang berhasil membuat teknologi. Di lain sisi, justru pihak swasta lebih berandil  besar dalam upaya mengembangkan hasil ciptaan mereka.

Di samping itu, pemerintah harus memproritaskan pembelian garam petani dengan harga layak, untuk memacu semangat petani menghasilkan garam dengan kualitas yang lebih baik dari garam impor. Ketegasan pemerintah terhadap PT Garam, melarang patokan harga kepada petani dibawah standar yang telah diatur. Meskipun dengan alasan, kualitas garam yang masih rendah.

Faktor alam boleh jadi keberuntungan, namun tanpa usaha dan kerja keras manusia, semuanya menjadi sia-sia. Jangan terlena dengan kekayaan alam kita kaya raya, namun waspadalah jika manusianya—diri kita sendiri—belum mampu menghasilkan apapun untuk negeri ini.

Inilah negeri kita tercinta, cara gampang menjadi jalan akhir, hobinya konsumsi “mie” instan, apa-apa impor. Bahkan lautan luas tak menjadi “lautan” garam—Ironi di tanah pertiwi subur nan permai.

ditulis oleh: Ayu Harisa
#mengisi waktu libur setelah UAS

Tidak ada komentar: