Selasa, 29 November 2011

Cerpen "Wanita Inspiratif Pembangun Peradaban"


Wanita Inspiratif Pembangun Peradaban yaitu
Aku Ingin Menciptakan Keadilan Hak Gender di Kampungku.

            Berawal dari sebuah keyakinan dan tekad seorang anak perempuan.
            Kenyataan adalah bagian dari takdir yang harus diterima, begitu pula anak-anak perempuan di Desa Mauk. Mayoritas penduduk desa ini adalah nelayan, dan rata-rata penduduk dengan pendapatan rendah atau miskin. Hal yang tidak lepas adalah adat,  sudah menjadi adat di kampung itu, anak perempuan hanya di rumah tidak boleh sekolah, dan akhirnya harus menikah di usia belia. Warga di kampung tersebut, mempunyai pandangan, bahwa kodrat wanita pada akhirnya harus melayani suami sehingga tak perlu sekolah. Sedangkan, anak laki-lakinya diusahakan untuk bisa sekolah karena dianggap perlu untuk mencari nafkah keluarga nantinya. Disini lah aku, terjebak di pedalaman kampung, namaku Tera, aku memiliki keluarga yang lengkap, bapak, ibu, dan seorang kakak laki-laki.
Pagi itu, ketika kakakku pergi sekolah, aku hanya bisa mengintip di balik kosen jendela dapur. Ada rasa yang aneh setiap kakakku pergi sekolah, aku pun tak mengerti. Hal yang sangat membuatku gembira, saat ia pulang ke rumah, dia pasti menceritakan hari-harinya di sekolah, dan aku sangat antusias mendengarkan semuanya. Kakakku orang yang sangat baik dan ia orang yang pertama kali mengetahui bakatku. Namanya Gaki, ia dengan senang hati selalu mengajariku pelajaran yang ia dapatkan di sekolah.
“Tera, aku ada PR mengarang bahasa indonesia, maukah kamu membantu membuatnya?” tanya kakak.
“Benarkah kak, apa boleh?” jawabku tak sabar.
“Iya”
Untuk pertama kalinya aku belajar menulis, kuakui kemampuanku baca dan tulis, kakakku yang secara diam-diam mengajari. Aku sangat beruntung punya kakak sebaik dia. Sejak saat itu, tanpa aku sadari aku jadi sering menulis, tentang apa saja yang kulihat, bahkan banyak tulisan yang menurutku tidak terlalu penting. Sampai suatu ketika, kakak membaca tulisan-tulisanku yang kusimpan dibawah baju di lemari.
“Tera, ini kamu yang buat?”
“Iya, kak Gaki, maaf, aku…aku…” jawabku terbata-bata karena takut dianggapnya tidak wajar.
“Dik…aku tahu ada sesuatu dalam dirimu, sejak awal kamu memang anak perempuan yang berbeda dari anak-anak di kampung kita. Boleh aku tanya sesuatu dik?”
“Apa kak?”
“Apakah cita-citamu saat ini?”
Sejenak sesuana hening tidak ada kata-kata, aku hanya bergeming mendengar pertanyaan yang dilontarkan kakakku.
“Apa sebenarnya impianmu dik? Jawablah tidak usah ragu.” tanya kakakku lagi.
“Aku…sebenarnya, aku tidak yakin kak…apakah aku boleh mempunyai mimpi? Aku tidak tahu, teman-teman anak perempuan lainnya tidak pernah membicarakan mimpinya. Mereka hanya bercerita tentang suami mereka, kehidupan yang memang harus mereka jalani nantinya. ” jawabku lugas tanpa kusadari butiran-butiran bening mengalir dipipiku.
“Tera…setiap orang boleh memiliki mimpi dan harus memilikinya. Ketika kamu mempunyai impian, kamu akan punya tujuan hidup. Aku mengerti keadaan ini memang sulit dengan keterbatasan dan segala ketidakmungkinan, tapi ketahuilah dik…mimpi itu bisa membuat keterbatasan menjadi kebebasan untuk melangkah dan ketidakmungkinan bisa menjadi kemungkinan yang tak terduga. Yakinlah dengan mimpimu, aku lihat kamu memiliki bakat menjadi seorang penulis.”
Aku hanya semakin terisak mendengar tuturan kakak, aku tidak pernah mendengar kata-kata seperti itu sebelumnya, yang membuatku semakin terguncang adalah kata terakhir kakak.
****
Selang hari sejak peristiwa itu, aku sering melamun, memikirkan masa depan. Berandai-andai menjadi sesuatu. Siang ini, aku pamit pada ibu, ingin berkeliling kampung. Ibuku kaget, aku yang jarang keluar rumah, tiba-tiba ingin keluar untuk berkeliling pula. Dengan alasan ingin menikmati suasana kampung dan sedikit bujukan, akhirnya ibu mengizinkan. Beruntung siang itu bapak belum pulang kerja, kalau tidak mungkin aku benar-benar tidak diizinkan.
Terik matahari kuhiraukan, setapak demi setapak kujejaki sudut kampung. Langkah kakiku berhenti di sebuah kedai kopi kecil, kulihat sebuah kotak ukuran sedang memperlihatkan hiruk-pikuk orang dan suasana suatu tempat. Akupun tak mengerti, tetapi kudengar orang menyebutnya televisi, kulihat dengan seksama, tampak kendaraan aneh yang jarang kulihat bentuknya melintas di jalan mulus dan sesekali terlihat bangunan tinggi-tinggi. Aku terpana dan terpelongo melihat semua yang ditampilkan, sederet tulisan berjalan di layar tersebut tertulis “lalu lintas jakarta”, kata-kata itu sangat asing menurutku, tetapi yang jelas kuingat suasana yang terlihat di layar kaca tersebut membekas dalam ingatan dan membuatku bermimpi untuk pergi kesana, Mungkinkah? batinku.
Setelah terpikat oleh apa yang baru saja kulihat, aku segera pulang ke rumah, tak sabar ingin menceritakan semuanya pada kakak.
“Kak Gaki…”
“Darimana saja kamu dik?”
Panjang lebar kuceritakan apa saja yang baru kulihat dan bertanya tentang tulisan yang kubaca di layar televisi, “Kak, maksud tulisan lalu lintas jakarta itu apa?” tanyaku dengan penuh penasaran.
“Jakarta itu nama ibukota Indonesia negara kita, itu pusat kota besar dik…lalu lintas jakarta berarti suasana di jalan besar jakarta tempat melintas bermacam kendaraan.”
“Kak…aku ingin sekali kesana.”
“Kelak jika kamu berusaha, semua akan menjadi mungkin adikku, berkeliling dunia menyusuri kota asing, tak kusangka ternyata kamu adik kecilku yang berani mempunyai impian besar.” Kata kakak sambil mengusap-usap kepalaku.
****
Hujan berkelebat hebat, angin berhembus semakin kencang, terdengar sesekali suara petir bergemuruh menambah suasana mencekam sore ini, hari ini tidak biasanya kakak belum pulang sekolah, padahal hari akan semakin gelap, tapi aku tidak ingin berpikir yang tidak-tidak, mungkin saja ia sedang beteduh menunggu hujan reda. Kulihat ibu melipat kain dan bapak memperbaiki jaringnya yang rusak, sepertinya mereka tidak menyadari kakak yang belum pulang. Akhirnya kuputuskan untuk mengatakan pada bapak kalau kakak belum pulang, tak bisa aku elak rasa cemas semakin membuatku khawatir.
“Bapak…kakak belum pulang sekolah.”
“Mungkin kakakmu ada urusan penting, tidak apa-apalah dia anak laki-laki, tak perlu cemas.” Bapakku terlihat sangat sibuk dengan jaring-jaring yang meliliti tangannya, karena dihiraukan aku coba berbicara  pada ibu.
“Buk…kak Gaki belum pulang, mungkin terjadi sesuatu padanya.”
“Tera…kakakmu tidak akan terjadi sesuatu, jangan berpikir yang tidak-tidak.”
Akhirnya aku pasrah, aku tetap menunggu kakak pulang. Tiba-tiba saja…..
Took…Tok…Doorr…..Dooorr….terdengar suara tak sabar gedoran pintu. Aku, bapak dan ibu kaget. Bapak membukakan pintu, aku dan ibu mengikut dari belakang.
“Anakmu….anakmu…..si Gaki….gaki…” kata tetangga sebelah dengan nafas terengah-engah.
“Kenapa anakku? Gaki belum pulang sampai sekarang, dimana anak itu?”
“Anakmu kecelakaan! sekarang dibawa ke mantri[1]
Tanpa mengulur waktu, kami segera menyusul melihat keadaan kakak, aku terhenyak lemas melihat kakak yang dibalut perban putih bercak merah, tampak darah segar masih mengalir.
“Kak………..”
“Tera…kakak mungkin tidak bisa membahagiakan kamu, ibu dan bapak. Tapi aku tahu kamu bisa Tera, kamu anak yang pintar dan berbakat.” Kata kakak pelan sambil sesekali menyatukan gigi atas dan bawah untuk menahan rasa sakit. Deraian air mata tak dapat kubendung.
“Kakak sudah tidak kuat lagi Tera. Kakak mohon, kamu harus bisa meraih cita-citamu.”
Kata terakhir yang kakak ucapkan untukku selama-lamanya, tawa dan senyumnya tidak akan pernah kulihat lagi.
****
Usai pemakaman, kata-kata kak Gaki masih tergiang-giang di benakku. Sejak kakak meninggal, aku tidak berbicara pada siapapun termasuk ibu dan bapak. Aku duduk termangu sambil menopang dagu di atas meja kecil tempat aku dan kakak biasanya belajar. Tanpa sadar aku menarik secarik kertas dan menuliskan kalimat demi kalimat, kutuliskan semua impianku.
Aku ingin menjadi sesuatu, aku ingin meraih mimpi-mimpiku, aku ingin membahagiakan orang-orang yang kusayangi, aku ingin sekolah, aku ingin ke jakarta, aku ingin menjadi seorang sarjana, aku harus menjadi penulis hebat. —Tera—
Keyakinanku untuk mewujudkan semua itu semakin kuat dan memberikan keberanian dalam diri untuk bisa terlepas dari adat kampung. Aku memberanikan diri mengatakan semuanya pada bapak dan ibu, berharap mereka mendukung keinginanku. Aku tidak ingin seperti kebanyakan perempuan di kampungku, tidak memiliki pendidikan, hanya melayani suami, menunjukkan kelemahan kita sebagai perempuan, atau seperti ibu yang kadang dipukul bapak karena tidak beres mengurusi kebutuhannya. Dengan berani kuutarakan maksudku secara halus dan hati-hati.
            “Ibu…Bapak…Tera ingin ke Jakarta, Tera ingin meraih cita-cita. Izinkanlah anakmu ini pergi.”
            “Tera…apa-apaan kamu, anak perempuan mau pergi merantau jauh-jauh. Untuk apa kamu meraih cita-cita, tidak ada gunanya anak perempuan sepertimu, nantinya juga hanya melayani suami. Lagipula bisa apa kamu Tera nanti disana, sekolahpun tak pernah, belajar baca tulis apalagi. Pasti hal seperti itu tidak kamu pikirkan.” Jelas bapak dengan nada semakin meninggi. Lalu aku lihat ibu hanya diam saja tidak berkomentar.
            “Pak..aku bisa, aku bisa baca dan tulis, kak Gaki yang mengajariku, izinkanlah anakmu ini, berikan aku kesempatan, aku mohon Pak...” aku memohon kepada bapakku dengan seluruh daya upaya agar ia mengizinkanku, aku terus bersikeras melontarkan berbagai pendapat.
            “Apa kamu yakin Tera…kamu itu tidak tahu bagaimana kerasnya kehidupan di luar sana. Bapak sebenarnya hanya takut kalau terjadi sesuatu padamu. Tapi…kamu, sama keras kepalanya seperti kakakmu dan bapak, bapak tahu dari dulu sebenarnya kamu anak perempuan yang berani. Apa cita-citamu Tera?
            “Tera ingin menjadi seorang sarjana dan menjadi penulis berbakat.” Deraian air mata tak dapat lagi kubendung, aku menangis sejadi-jadinya. Selama aku menangis semuanya hanya diam, tidak ada kata-kata sampai akhirnya kulihat bapak dan ibu saling bertatapan dan bapak mulai angkat bicara.
            “Jika kamu memang sudah yakin dan bertekad, raihlah masa depanmu. Bapak dan ibu akan menunggu disini. Sebagai bekal di perjalanan, kami ada sedikit tabungan untukmu.” Aku sangat terharu dan segera berterima kasih pada bapak dan ibu, kucium kedua tangan mereka.
****
Esok hari, aku segera mempersiapkan apa saja yang harus aku bawa sebagai bekal perjalanan ke jakarta. Aku menjadwalkan tiga hari lagi berangkat. Tak kusangka, kabar keberangkatanku tersebar ke kampung, ajaibnya warga kampungku sangat mendukung, silih berganti para tetangga berdatangan ke rumah, kadang sekedar memberikan selamat atau memberikan bekal untukku. Mereka mengatakan awalnya kaget mendengar kenekatanku pergi merantau. Namun, mereka juga merasa bangga, anak perempuan seperti aku berani untuk meraih cita-cita. Sahabat dan teman-teman yaitu anak perempuan memberikan semangat untukku, mereka juga ingin seperti aku dan mengatakan bahwa anak-anaknya kelak harus bisa mendapat pendidikan baik laki-laki maupun perempuan.
Sebenarnya, bagi mayoritas warga di kampungku, berpendidikan tinggi (apalagi sampai pergi ke kota) adalah bukan keharusan, karena dalam kesadaran dan logikanya, mengumpulkan rupiah dan kemudian menikah merupakan hal yang utama. Dalam ukurannya, presiden, menteri, duta besar atau jabatan apapun yang jauh dari jangkauan berpikirnya, dianggap telah ditetapkan di lauhul mahfudz sana (tak ada peluang untuk dinegosiasikan, atau bahkan di intervensi). Kodratnya si C menjadi presiden merupakan buah dari penurunan takdir, dan bukan hasil jerih payah. Dalam keadaan itu, aku tak bisa mendebat dengan rasionalitas apapun karena tahu sendiri, pandangan fundamental demikian selalu sulit untuk dibantah dan bahkan ditelikung karena beribu pembenaran telah disiapkan untuk pembelaannya.
Namun, aku dapat membuktikan bahwa jalan pikiran dan pandangan itu salah, setiap orang mempunyai kesempatan dan ada banyak peluang diluar sana, jika kita mau berusaha. Termasuk aku, wanita inspiratif yang akan membangun peradaban dunia. Awal pembuktian, aku sudah berhasil mencuci otak warga kampungku dengan dogma-dogma setiap orang atau siapa saja pantas memiliki impian dan mengejar cita-citanya setinggi langit.
Sampai jumpa kampungku, kelak aku akan kembali dengan sandang sarjana dan membawa ijazah kelulusan. Akan kubuktikan setiap orang berhak mewujudkan impiannya, termasuk Anda yaitu wanita super dengan pemikiran super yang akan membentangkan horizon keadilan dalam hal gender. Hidup wanita inspiratif pembangun peradaban!


[1] Panggilan untuk orang ahli di bidang pengobatan

Tidak ada komentar: